Oleh: Agus Hartono
Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta 1994-1996, Anggota Dewan Penasihat HIKMAHBUDHI 2001-2003
Sejarah amat menarik dan penting untuk dipelajari. Karena sejarah kerap berulang, dan ketika ia berulang, kita diharapkan sudah siap menghadapinya. Kita harus dapat memetik manfaat darinya. Sisi terang dan baik dari sejarah, kita ambil dan lestarikan agar dapat manapak ke depan dengan lebih baik. Sebaliknya, sisi gelap dan buruk, kita camkan agar kesalahan bisa dihindari, tidak diulang agar tidak jatuh ke lubang yang sama.
Di sini, sepenggal catatan sejarah mengenai awal kebangkitan kembali HIKMAHBUDHI (HB) diungkap. Bukan untuk sarana bernostalgia ke masa lalu, tapi lebih sebagai bekal bagi para pejuang muda pembebas penderitaan di masa kini dan masa datang. (Catatan ini banyak mengambil latar situasi yang berkisar antara tahun 1994 hingga tahun 2001, bercerita mengenai proses kebangkitan kembali HB, dan lika-liku perjalanan Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ) hingga melebur menjadi HB. Ada beberapa alasan untuk ini. Pertama, karena saya melihat, mendengar, merasakan, dan terlibat langsung di masa-masa itu sehingga merasa lebih nyaman untuk berbagi. Kedua, banyak hal-hal penting di masa itu yang menurut hemat saya penting untuk diketahui dan dipelajari para generasi penerus HB, seperti salah satunya alasan mengapa dan bagaimana HIKMAHBUDHI diupayakan untuk dihidupkan kembali).
Mimpi di siang bolong
“Sekarang kita sudah ada hubungan dengan teman-teman luar negeri. Bisa nggak ya nanti kita jalin hubungan dengan gerakan mahasiswa lainnya di Indonesia?” tanya saya pada Daniel Johan, seorang guru, kakak, sekaligus sahabat saya. “Yang penting kita terus berusaha,” balas Daniel sambil mengemudikan Panther-nya membelah lalu lintas di Pasar Baru. “Iya, kita harus terus coba. Siapa tahu nanti mahasiswa Buddhis Indonesia juga bisa seperti PMKRI, PMII, GMNI atau GMKI. Bisa ikut tampil dan berkiprah di pentas nasional, ikut terlibat aktif menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa,” timpal saya dalam perjalanan kami menuju sekretariat KMBJ di jalan Gunung Sahari. “Mudah-mudahan 10-15 tahun ke depan, kita bisa memperluas jaringan internasional, dan bisa terlibat aktif dalam jaringan nasional pergerakan mahasiswa Indonesia, sehingga mampu berbuat lebih banyak bagi negara,” ujar Daniel. “Mahasiswa dan komunitas Buddhis Indonesia harus bisa bersikap inklusif di tengah masyarakat Indonesia,” tambahnya di tengah panas terik matahari yang menyengat Jakarta di suatu hari tahun 1995. (Di awal tahun itu pula, kami berdua berkesempatan mengikuti konferensi internasional, yaitu International Network of Engaged Buddhist – INEB di Thailand atas undangan Sulak Sivaraksa, seorang pejuang hak asasi manusia dan demokrasi, intelektual, dan pemikir Buddhis terkemuka asal Thailand yang kerap mendengungkan pentingnya umat Buddha terlibat secara sosial dalam kehidupan bermasyarakat).
Cuplikan perbincangan 12 tahun silam itu masih terekam di memori. Saat itu, kami berdiskusi, atau bisa juga disebut bermimpi di siang bolong, mengenai kemungkinan keterlibatan mahasiswa dan komunitas Buddhis Indonesia yang lebih mengakar dalam berbagai masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Kami bermimpi jika suatu saat nanti, mahasiswa Buddhis bisa ikut berkiprah lebih jauh dalam masyarakat nasional dan internasional. Berkiprah di sini bukan hanya berarti turut menjadi penonton, penggembira ataupun plengkap, melainkan juga ikut menentukan masa depan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Karena itu, mimpi-mimpi yang bermunculan adalah seperti memiliki anggota parlemen, aktivis lembaga swadaya masyarakat pemberdaya masyarakat, aparat pemerintah pengambil kebijakan, dan berbagai profesi yang dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, damai, dan sejahtera.
Kami sebut ‘bermimpi’, karena saat itu organisasi yang kami geluti, KMBJ, sedang sibuk konsolidasi menata ulang dan mereformasi diri – suatu masa yang amat menyita waktu di tengah kesibukan mayoritas para pengurus yang juga harus berkuliah sambil bekerja. Bermimpi, karena di masa itu, alih-alih memikirkan kontribusi bagi bangsa, para mahasiswa dan komunitas Buddhis Indonesia lebih suka bergerak di dalam komunitas, dan menghindar dari keterlibatan sosial yang lebih dalam. Bermimpi, karena di tahun ’95, rejim orde baru masih mencengkram kuat, menebar ketakutan bagi banyak orang termasuk komunitas minoritas Buddhis Indonesia (penentu kebijakan mutlak di tangan satu atau segelintir orang, sehingga masyarakat tidak perlu ikut berpikir bagaimana mencapai kehidupan yang didambakan. Sistem pemerintahan yang otoriter ketimbang bersikap kritis menyuarakan kebenaran dan keadilan, tidak perlu ikut-ikutan berpolitik, apalagi umat Buddha itu kelompok minoritas. Demikian pandangan yang berkembang subur saat itu di mayoritas komunitas Buddhis Indonesia, termasuk para kaum intelektual progresif pembaharuan: mahasiswa.
Masa penuh tantangan
Tahun 1995, menjadi tahun penuh tantangan bagi KMBJ. Beragam permasalahan harus dihadapi organisasi mahasiswa Buddhis ekstrakampus pertama di Indonesia ini. Selain berbagai permasalahan klasik internal organisasi (dana, waktu, kuantitas, dan kualitas SDM, dan sebagainya), para pengurus KMBJ saat itu harus menghadapi pandangan miring dari publik Buddhis domestik.
Di kalangan mahasiswa Buddhis Jakarta, KMBJ cenderung dihindari karena sikap arogan dan eksklusifnya di masa lalu. Keinginan KMBJ untuk jadi semacam ‘pusat komando’ mahasiswa Buddhis Jakarta menjadi bumerang. Pada tahun 1988, berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa Buddhis (UKMB) dan Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) mulai bermunculan baik di kampus maupun di beberapa propinsi lainnya. Sayangnya perubahan ini tidak dibaca jelas dan disikapi dengan bijak. KMBJ gagal mereposisi dirinya di tengah perubahan yang terjadi. KMBJ masih merasa ‘di atas’ karena faktor sejarah. Padahal, kreativitas dan semangat kesetaraan terus tumbuh. Para aktivis mahasiswa Buddhis di kampus-kampus juga ingin berperan membangun agama Buddha di Indonesia dengan korps dan benderanya masing-masing. Akibatnya, tidak terelakkan lagi ‘gesekan’ antara KMBJ dengan sebagian besar UKM Buddhis di Jakarta.
Apalagi menurut sumber yang terpercaya, sempat terjadi ketegangan ketika seorang KMBJ ‘marah’ dengan beberapa UKMB karena mengadakan kegiatan Waisak gabungan tanpa berkoordinasi dengan KMBJ (saat itu adalah tahun 1992. Saya ingat ikut menghadiri kegiatan tersebut sebagai salah seorang mahasiswa STMIK Bina Nusantara, salah satu UKMB penyelenggara).
Kondisi di atas diperburuk dengan arah kegiatan dan pergerakan KMBJ yang cenderung berkiblat ke suatu mazhab tertentu. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan karena sekte lainnya enggan mendukung dan mendekat dengan KMBJ yang pada awalnya memang diformat tidak berkiblat ke mazhab manapun (sifat organisasi KMBJ yang independen dinyatakan secara tegas dalam Anggaran Dasar organisasi yang mengamanatkan bahwa KMBJ tidak berafiliasi kepada organisasi manapun, selain HIKMAHBUDHI). Meski kerap menyangkal, KMBJ sulit melepaskan diri dari stigma semacam itu karena memang prilaku dan kegiatan organisasi yang cendreung menunjukkan keberpihakan pada sekte tersebut. Menjadi subordinasi dari sebuah mazhab jelas melanggar AD/ART KMBJ. Dan, kebijakan itu telah menjerumuskan dan mereduksi perjuangan KMBJ yang seyogyanya bergerak di wilayah netral dan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Faktanya saat itu, di lapangan memang ada beberapa mahasiswa yang merasa ‘asing’ ketika harus mengikuti budaya atau tradisi ritual sekte tertentu di KMBJ, akibatnya tidak jarang banyak di antara mereka yang menghindar dan mundur.
Lahirnya UKMB di kampus-kampus Jakarta dan bangkitnya organisasi-organisasi pemuda wihara pada akhir tahun 80-an juga menjadi fenomena yang harus dihadapi KMBJ. Menurut informasi dari berbagai sumber, KMBJ disebut mencapai ‘puncak kejayaan’ pada kisaran tahun 1986-1989, ketika kebaktian dan kegiatan yang diselenggarakan KMBJ kerap dihadiri ratusan mahasiswa (paradigma yang lebih mementingkan aspek kuantitas daripada kualitas di masa itu menjadi salah satu tolok ukur, bahwa masa itu dianggap puncak kejayaan KMBJ. Paradigma keberhasilan yang dinilai dari jumlah massa hingga kini masih dipegang mayoritas komunitas Buddhis Indonesia). Kondisi yang berbeda harus dialami begitu memasuki tahun 90-an. Jumlah mahasiswa yag aktif di KMBJ semakin menurun. Hal ini dapat diterima secara logis mengingat sejumlah aktivis mulai berkonsentrasi membangun UKMB di kampusnya masing-masing. Menguatnya peran pemuda wihara untuk membangun kaum muda di wiharanya masing-masing adalah faktor lainnya. Di samping itu, masalah kepemimpinan internal pada periode 1990-1992 juga sempat menjadi penyebab kemerosotan KMBJ, dan ikut menjadi faktor mundurnya sejumlah anggota dan pengurus. (Sayangnya, berabagai faktor kemerosotan KMBJ yang bersifat akumulatif tersebut di atas ‘gagal’ dilihat sebagian alumni KMBJ yang mengkritik para pengurus KMBJ angkatan tahun ’95 yang melakukan reformasi. Mereka malah menuding reformasi yang dilakukan, seperti halnya memutar haluan dari orientasi keagamaan menjadi orientasi kemasyarakatan, sebagai penyebab kemorosotan kuantitas aktivis KMBJ.)
Mimpi individu, mimpi komunitas
Didera berbagi persoalan, tidak menyurutkan langkah para pengurus KMBJ. Sebaliknya, mereka malah lebih terpacu. Tema kepengurusan (periode 1994-1996) dirumuskan: ‘Konsolidasi KMBJ Dalam Menjawab Tantangan Masyarakat’.
Tema ini sesuai dengan kondisi organisasi yang saat itu membutuhkan konsolidasi besar-besaran. Motivasi anggota yang menurun. Orientasi pergerakan yang tidak lagi mengakar, dan keterampilan berorganisasi yang kurang memadai menjadi persoalan internal yang perlu segera dibenahi. Namun, konsolidasi internal yang dilakukan bukan berarti KMBJ menutup diri dari masyarakat. Konsolidasi yang dilakukan tidak boleh mengorbankan visi dan misi KMBJ pada saat awal dibentuk tahun 1971, yakni mengabdi kepada masyarakat luas dengan mengacu pada visi Buddha – melenyapkan penderitaan. Ini dipegang segenap pengurus pada masa itu. Berbagai kebijakan dan kegiatan yang mengarah pada tema ini pun digelar. Beberapa di antaranya adalah: kebijakan mengganti kegiatan kebaktian dengan forum diskusi, dan penyelenggaraan Pekan Orientasi (PO).
Identitas sebagai organisasi yang berkiblat ke satu sekte dilekatkan kepada KMBJ karena beberapa alasan. Salah satunya adalah kegiatan kebaktian yang mengikuti tata cara ritual sekte tersebut. Setelah melewati pergualatan pemikiran yang memakan waktu kurang lebih setahun, KMBJ memutuskan untuk mengganti kegiatan kebatkian dengan forum diskusi yang tidak lepas dari nilai-nilai universal Buddhis. Keputisan ini cukup banyak mengundan reaksi baik pro maupun kontra.
Bagi mereka yang pro, keputusan ini dianggap jalan terbaik untuk mengembalikan KMBJ ke khitah-nya sebagai organisasi kemahasiswaan independen yang berorientasi sosial kemasyarakatan. Dengan kegiatan forum diskusi, warna intelektual juga lebih mengntal dibandingkan dengan kegatan kebaktian yang saat itu lebih tepat dan lebih baik diperankan oleh organisasi pemuda wihara. Meski demikian, basis spiritual para pengurus KMBJ tidak hilang begitu saja. Para anggota dan pengurus tetap didorong untuk memenuhi panggilan spiritual mereka di pagi hari, dan baru mulai melakukan aktivitas selepas melakukan kebaktian di wihara masing-masing. Keputusan ini membuka lebar jalan bagi KMBJ untuk mereformasi pergerakannya. Peran KMBJ di bidang ritual yang dimulai sejak tahun 1971 sudah seharusnya dikurangi, dan seyogyanya mulai memperhatikan bidang sosial kemasyarakatan yang terkesan terpinggirkan. Para pengurus menyadari hal ini, dan ini menjadi salah satu alasan keputusan ini diambil.
Sebaliknya mereka yang kontra bereaksi cukup keras, termasuk sejumlah mantan Ketua KMBJ. Dalam sebuah kesempatan diskusi di bulan September 1995, tidak kurang 7 mantan Ketua KMBJ hadir (Kehadiran mereka tercatat menjadi sebuah kejadian yang langka, karena 24 tahun sebelumnya sejak KMBJ didirikan tahun 1971, belum pernah para mantan ketua KMBJ dalam jumlah sebanyak itu hadir bersamaan dalam sebuah acara KMBJ. Ini dapat menggambarkan bagaimana seriusnya penolakan para mantan pemimpin KMBJ menyikapi kebijakan ini). Intinya, mereka meminta agar para pengurus mengurungkan niat itu. Pengurus saat itu, bergeming dengan keputusan itu karena keputusan diambil atas dasar argumentasi yang jelas, bukan atas dasar like or dislike (penjelasan lebih detail bisa dibaca di majalah HIKMAHBUDHI edisi khusus tahun perak KMBJ, Maret 1996, hal 52-56). Konsekuensi keputusan ini bukan tidak ada. Dukungan dari para alumni penentang kebijakan ini langsung menyurut, baik secara moril maupun materil. Tentu saja ini semakin menambah beban.
Apalagi di tahun 1996, pengurus sedang mempersiapkan rangkaian acara peringatan ulang tahun perak KMBJ (usia 25 tahun) yang tentunya membutuhkan dukungan dana dan moril dari para alumni. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah para pengurus (malah, di acara puncak peringatan ulang tahun yang diselenggarakan beramaan dengan Malam Final Lomba Cipta Lagu Buddhis (LCLB), Vokal Grup dan Pop Singer KMBJ ke-5 itu, panitia berhasil mengeluarkan album 10 lagu terbaik LCLB ke-5 pada hari itu – dalam 4 lomba sebelumnya album kaset itu baru keluar setelah 3-4 bulan setelah lomba usai. Pada malam itu pula diluncurkan buku pretama terbitan HB-KMBJ: ‘AKSI CINTA’, terjemahan dari buku ‘LOVE IN ACTION’ karangan Bhiksu Thich Nhat Hanh).
Sadar akan perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan mahasiswa Buddhis di Jakarta, peka terhadap paradigma negatif publik terhadap KMBJ, dan paham bahwa tanpa ada perubahan niscaya KMBJ akan terjerembab, para pengurus sepakat untuk segera mereformasi diri. Pandangan bahwa KMBJ harus menjadi ‘pusat komando’ tidak lagi dipegang. Kami berpendapat KMBJ mempunyai ranah, peran dan lingkup perjuangan yang berbeda dengan teman-teman aktivis UKMB di kampus. Jadi sudah seyogyanya, KMBJ tidak perlu saling membawahi karena kesetaraan fungsi tersebut, demikian pendapat kami saat itu. Sejak saat itu, KMBJ mulai melihat UKMB sebagai mitra yang setara yang memiliki fungsi yang berbeda.
Independensi KMBJ pun ditegakkan. Hubungan dengan semua sekte dinormalisasi. Selain itu, KMBJ pun segera merubah titik berat orientasi pergerakan dari yang semula cenderung ke arah ritual menjadi ke arah sosial kemasyarakatan. Yang menarik, perubahan ini tidak menimbulkan gejolak atau pertentangan yang serius, meski sudah hampir 24 tahun lamanya KMBJ lebih dominan bergerak di ranah ritual. Salah satu kunci keberhasilan reformasi yang dilakukan terletak pada kerinduan dan mimpi para pengurus dan anggota saat itu: ‘ Mahasiswa Buddhis dan agama Buddha bisa berguna dan berperan lebih jauh bagi masyarakat Indonesia’. Mimpi dan kerinduan akan keterlibatan sosial mahasiswa Buddhis Indonesia di dalam masyarakat bukan hanya milik Daniel ataupun saya. Mimpi itu juga dimiliki teman-teman yang aktif di KMBJ saat itu dalam berbaai gradasi. Dan seiring waktu berjalan, kami menyadari mimpi ini ternyata juga hadir tersebar di benak berbagai mahasiswa Buddhis di luar KMBJ (salah satu yang menonjol adalah Adi Jaya yang mendirikan dan sekaligus ketua pertama KMB STIE Nusantara). Komunikasi yang kami jalin dengan beberapa aktivis UKMB di Jakarta, dan KMB di beberapa daerah menunjukkan hal itu. (Sebagian dari pemimpin HB, baik PC maupun PP, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini adalah mereka yang kami temui saat itu). Singkatnya, kami sadar bahwa mimpi kami rupanya juga adalah mimpi komunitas. Dan, ini meyakinkan kami kalau mimpi ini bisa berubah wujuud menjadi kenyataan. Mimpi inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong bangkitnya kembali ‘raksasa’ yang sedang tidur: HIKMAHBUDHI.
Mimpi mulai dibangun
Secara historis, ide pendirian HB sudah muncul sejak KMBJ didirikan pada 14 Maret 1971. Salah satunya datang dari Bpk. Krishnanda Wijaya Mukti yang sempat menjadi Ketua KMBJ ke-3. Pandangannya yang visioner ikut mendorong penerbitan majalah HIKMAHBUDHI pada bulan Mei 1971. Menurutnya, mahasiswa Buddhis Indonesia harus ikut berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan. Dan ia mulai merintisnya. Pandangan jauh ke depan seperti ini tentu amat tidak lazim di jaman itu. Apalagi, saat itu agama Buddha baru bangkit dari tidurnya. Hampir seluruh sumber daya manusia Buddhis terkuras untuk membangun infrastruktur ritual yang masih amat minim saat itu. Akibatnya, pemikiran model Krishnanda sulit berkembang. Waktu pun terus berjalan, dan KMBJ menjadi salah satu pelaku yang diandalkan dalam pembangunan infrastruktur keagamaan Buddhis nasional. Orientasi pergerakan KMBJ yang menitikberatkan pada bidang ritual begitu pekat selama 24 tahun. Selain Krishnanda yang mampu menyelipkan orientasi sosial kemasyarakatan dalam kurun waktu tersebut, beberapa nama yang malang melintang di dunia pergerakan Buddhis Indonesia sempat ikut mencobanya beberapa nama yang malang melintang di dunia pergerakan Buddhis Indonesia sempat ikut mencobanya beberapa tahun kemudian. Eresen, Jo Priastana, dan Firman Lie adalah beberapa di antaranya. Namun, lagi-lagi mereka juga menemui tembok tebal. Dominasi aktivis KMBJ yang cenderung berorientasi pada bidang ritual masih terlalu kuat. Pemikiran bahwa umat Buddha juga harus terlibat secara sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia sulit muncul ke permukaan. Pada tahun 1988, ide pembentukan HB direalisasikan KMBJ dan sejumlah KMB di luar Jakarta. (Sejauh yang saya ingat, beberapa aktivis KMB Surabaya, KMB Malang, KMB Bogor dan KMB Palembang ikut terlibat. Ada selembar kain putih sebagai bukti sejarah yang ditandatangani para aktivis yang berpartisipasi. Kain ini masih disimpan oleh para pengurus HB). Namun yang terjadi setelah pembentukan itu amat samar. Yang ada hanya beberapa dokumen tertulis. Tidak banyak yang saya ketahui setelah ini kecuali HB bisa dikatakan ‘mati suri’ setelah dibentuk. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan penyebabnya justru muncul dari beberapa pengurus KMBJ yang khawatir KMBJ akan meredup jika HB menguat.
Semua itu di atas terungkap saat kami mencoba menelusuri keberadaan HB di masa lalu. Beberapa sumber, baik lisan maupun tulisan, termasuk perbincangan dengan para pelaku menegaskan cukilan sejarah di atas. Yakin dengan keberdaan HB di masa lalu, kami pun bertekad untuk membangkitkan kembali HIKMAHBUDHI. Langkah ini lebih baik daripada membentuk sebuah wadah baru. Saran ini bisa jadi alternatif kendaraan yang tepat bagi pergerakan mahasiswa Buddhis Indonesia untuk bisa berbuat dan terlibat lebih jauh dalam pembangunan bangsa yang utuh.
Langkah pertama mulai diayunkan. Belajar mengejar ketinggalan adalah langkah pertama yang terpikirkan. Lebih banyak berkecimpung di bidang ritual selama 24 tahun tentu menimbulkan beragam masalah untuk dapat bergerak di ranah sosial kemasyarakatan. Kesenjangan pemikiran berpotensi terjadi di kalangan anggota dan pengurus. Dan hal ini tentu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijembatani dengan baik. Selain itu, supaya mampu melakukan sosialisasi pentingnya mahasiswa dan komunitas Buddhis Indonesia melibatkan diri secara sosial, pemahaman yang baik mengenai hal itu amat diperlukan. Untuk itu, diadakanlah kegiatan Pekan Orientasi (PO) pada tanggal 16-20 Agustus 1995 yang diikuti lebih dari 35 peserta.
Kegiatan PO ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi para anggota dan pengurus agar tidak asing bergerak dalam identitias orientasi yang baru ini. Para pembicara datang dari berbagai kalangan. Beberapa di antaranya adalah Krishnanda W.M, Aking Saputra (seorang aktivis Buddhis yang juga praktisi hukum), dan Yos Rahardian (mantan aktivis PMKRI). Para mantan Ketua KMBJ yang ‘berseberangan’ dengan pengurus juga hadir untuk berbagi sejarah mengenai apa yang terjadi di masa kepengurusan mereka. Kebijakan mengundang mereka yang berseberangan sejalan dengan semangat demokrasi dan keterbukaan yang memang amat diusung dan dominan dalam dinamika kepengurusan saat itu.
Perbedaan pendapat dipandang justru sebagai kekayaan, bukan penghalang. Agar mendapat perspektif dan wacana yang lebih luas, para peserta pun tidak hanya dibatasi bagi pengurus KMBJ. Beberapa peninjau juga ikut serta seperti halnya aktivis KMB Bogor, KMB UI dan KMB ISTN. Kegiatan PO pertama, yang juga bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaant RI ke-50, tidak hanya sebatas mendengar buah pikir narasumber. Di hari terakhir, para peserta dalam beberapa kelompok bertugas menuangkan pemikiran mereka mengenai arah ke depan yang harus diambil KMBJ. Hasil pemikiran ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan. Terjadi berbagai argumentasi yang hangat mengenai seberapa jauh mahasiswa Buddhis harus terlibat dalam permasalahan sosial kebangsaan, dan beberapa hal terkait seperti perlu tidaknya membangkitkan kembali HB.
Setelah PO, langkah ini terus berlanjut. Sebuah tim dibentuk untuk merumuskan kembali visi, misi, dan orientasi sebagai pedoman gerak ke depan. Daniel Johan ditunjuk memimpin tim ini dengan dibantu seorang sekretaris dan 5 anggota yang mewakili kepengurusan saat itu dan berikutnya. Hasil pemikiran tertulis para peserta PO dan diskusi yang menyertainya kemudian dijadikan dasar kerja bagi tim. Mereka pun berhasil merumuskannya, dan kemudian disahkan pada tanggal 10 Desember 1995 (dokumen ini bisa dibaca lengkap di majalah HIKMAHBUDHI edisi khusus tahun perak KMBJ, maret 1996, hal 26-30). Reorientasi pergerakan secara formal pun dimulai, dan mimpi perjuangan berangsur dibangun setapak demi setapak secara alami.
Mengusung dan membangkitkan HB: sebuah kebutuhan
Langkah perjuangan terus berayun. Upaya yang telah ditanam di tahun 1995 mulai membuahkan hasil di tahun 1996. Sosialisasi pentingnya komunitas Buddhis indonesia untuk terlibat secara sosial semakin gencar dilakukan. Inspirasi yang didapat Pengurus yakin banyak yang mimiliki hasrat keterlibatan sosial yang tinggi, namun wadah yang tak jelas tersedia merdam hasrat itu. Bertepatan dengan malam peringatan Tahun Perak KMBJ yang dilangsungkan sebagai bagian acara Lomba Cipta Lagu Buddhis ke-5, buku ‘Aksi Cinta’ diluncurkan. Buku yang mengangkat isu perdamaian, cinta kasih dan keterlibatan sosial ini ditulis oleh Y.M. thich Nhat Than, seorang Bhiksu Vietnam pengusung perdamaian yang ikut merasakan kekejaman perang Vietnam. Berjudul asli ‘Love in Action’, buku ini dialihbahasakan oleh tim penerjemah KMBJ (ini untuk pertama kalinya KMBJ-HIKMAHBUDHI menerbitkan buku selain majalah. Hingga catatan ini dibuat, telah ada 5 buku yang diterjemahkan dan diterbitkan). Berbagai gebrakan ini nampaknya mampu menarik perhatian publik. Semangat dan moril para anggota dan pengurus pun meningkat. Meski dihadang berbagai halangan, mulai dari yang halus hingga kecaman, cacian dan boikot, KMBJ mampu melalui tahun 1996 dengan relatif baik. Waktu berjalan, dan pergantian pengurus harus terjadi menjelang akhir 1996. Kelangsungan perjuangan organisasi tidak boleh bergantung pada individu-individu tertentu, regenarasi harus terus digulirkan, demikian yang ada di benak kami (karena itu, dari 6 orang anggota Badan Pengurus Harian [BPH] periode 1994-1996, hanya 1 orang yang bertahan di kepengurusan inti periode berikut).
Kepengurusan boleh berganti, namun semangat perubahan tetap menyala, bahkan semakin membara. Agus Tjandra, ketua KMBJ periode 1996-1998, dan rekan-rekannya seperti Yennie Tandaputra, Selvy Husno, Bong Kian Fan, Yahung, Yenny Gunawan dan lain-lain berhasil membawa KMBJ dan menusung HB melewati masa-masa genting nasional yang akhirnya menjatuhkan rejim Orde Baru Soeharto pada tahun 1998. (Agus bahkan memimpin gerbong kebangkitan kembali HB dengan menjabat sebagai Pejabat Sementara (Pjs.) Ketua Umum HB pada tahun 1998-2001).
Di periode kepengurusan ini, pada tahun 1997, KMBJ mulai mengusung HB saat mengadakan sebuah seminar nasional yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia (PUSKAKINDO), sebuah lembaga yang dimotori mantan Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gabriel. Seminar yang menggunakan buku ‘Aksi Cinta’ sebagai bahasan pokok utama ini mengangkat isu antikekerasan dan perdamaian. Para pembicara dalam seminar ini adalah para tokoh agama nasional seperti: K.H. Said Aqil Siradj (Islam; menggantikan Gus Dur), Romo Sandyawan (Katolik), Sabam Sirait (Kristen), Krishnanda Wijaya Mukti (Buddha), dan seorang tokoh Hindu. Sebagai pembicara kunci hadir Y.M. Bhikkhu Maha Ghosananda dari Kamboja (sedianya panitia mengundang Y.M. Thich Nhat Hanh, penulis buku, tapi beliau berhalangan hadir. Bhikkhu Ghosananda saat itu dicalonkan meraih hadiah Nobel Perdamaian dunia karena keterlibatannya menentang penggunaan ranjau darat di Kamboja. CNN bahkan sempat menghubungi Daniel agar dapat melakukan wawancara dengan Bhante Ghosananda jika panitia Nobel menobatkannya menjadi peraih Nobel Perdamaian). Seminar yang diadakan di Taman Margasiswa (Sekretariat PMKRI) ini dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan pergerakan mahasiswa nasional. Beberapa tokoh masyarakat seperti Permadi (saat ini anggota DPR dari PDIP) juga hadir.
Ironisnya, dari kalangan Buddhis hanya rekan-rekan dari KMB Univeristas Indonesia (ada satu KMB lagi, tapi saya lupa) dan beberapa aktivis Buddhis yang hadir. Hal ini bukan tanpa sebab. Sehari sebelum pelaksanaan, sebagian besar pimpinan dan organisasi Buddhis mendapat instruksi dari otoritas pembina masyarakat Buddhis Indonesia untuk tidak hadir dalam seminar tersebut (termasuk para pengurus KMBJ yang ditelpon oleh seorang alumni pendirinya yang mengingatkan acara itu diawasi ketat). Berita yang disebarkan adalah seminar tersebut akan diintai oleh intel (di rejim Orde Baru saat itu, intel adalah momok yang menakutkan). Alasannya sederhana, seminar tersebut menghadirkan seorang sosok yang dianggap musuh penguasa saat itu: Romo Sandyawan (seorang pastor yang kritis terhadap pemerintah dan dianggap mendukung para aktivis pro-demokrasi).
Keesokan harinya, di tengah kecemasan akan tindakan represif aparat, seminar tetap dilangsungkan. Para intel memang terlihat mengamati di sebrang sekretariat PMKRI. Namun, yakin dengan niat baik yang diusung seminar ini, kami memutuskan untuk terus maju. Para pengurus KMBJ saat itu siap menghadapi resiko terburuk. Gabriel dan rekan-rekannya dari PMKRI juga demikian. Syukurlah, seminar berlangsung hangat, tanpa gangguan berarti dari aparat. Para peserta seminar bahkan terlihat amat tertarik dengan pemikiran-pemikiran Buddhis yang diwakili Y.M. Maha Ghosananda dan Bpk. Krishnanda yang tetap hadir, tidak takut dengan teror yang menebar malam sebelumnya. Media massa (termasuk KOMPAS) juga cukup hangat merespon acara itu. Publik terlihat antusias dan cukup terkejut akan pemikiran kritis, inklusif, universal dan mencerahkan dari Bhante Ghosananda, Pak Krish, dan Y.M. Thich Nhat Hanh yang tertuang dalam bukunya (ruang publik yang masih jarang diisi komunitas Buddhis amat terasa, akibatnya begitu ada yang mengisi, apalagi dengan kualitas yang handal, rasa dahaga publik akan nilai-nilai luhur Buddhis seolah terasa terpuaskan). Yang menarik, Wakil Presiden RI Try Sutrisno saat itu kemudian memberikan kesempatan bagi para panitia seminar untuk beraudiensi. Kesempatan itu digunakan HB-KMBJ dan panitia sebaik-baiknya untuk menegaskan pentingnya mengutamakan perdamaian dalam proses perubahan sosial (indikasi pengguaan kekerasan yang semakin merajalela di masa itu menjadikan kampanye perdamaian dan antikekerasan menjadi amat penting).
Kisah seminar ini berlanjut. Beberapa hari usai seminar, Bpk. Siwie Honoris mengundang kami dalam sebuah acara. Rupanya, Bpk. Siwie bermaksud baik mempertemukan kami dengan Direktur Urusan Agama (Ditura) Buddha, Bpk. Budi Setiawan yang ternyata ‘tersinggung’ dan merasa kecolongan dengan penyelenggaraan seminar itu. Usut punya usut, ternyata ketika itu atasan Ditura Buddha mempertanyakan perihal tampilnya Romo Sandyawan dalam seminar yang diadakan sebuah organisasi Buddhis (jelas kehadiran Romo Sandy mengganggu kenyamanan penguasa Orde Baru). Ini tentu pengalaman pertama yang amat berharga bagi HB-KMBJ. Merasa bahwa yang dilakukan bukanlah sebuah pelanggaran (Romo Sandy bukan seorang kriminal, penjahat, atau pelanggar undang-undang. Sebaliknya, beliau adalah orang yang konsisten mendukung nilai-nilai antikekerasan, perdamaian, dan hak asasi manusia), Agus Tjandra didampingi Yennie Tandaputra, Daniel, Yabin dan saya dipertemukan dengan Ditura Buddha (disertai Bpk. Ratna Surya Widya, seorang penengah yang diajukan Bpk. Siwie). Tentu saja, rasa khawatir sempat menyelimuti kami, apalagi ini pengalaman pertama kami berhadapan dengan bagian sistem birokrasi Orba yang tidak segan-segan membungkam mereka yang kritis. Perbincangan terjadi, cukup singkat. Ditura hanya bertanya mengenai perihal diundangnya Romo Sandy.
Kami pun menjawab itu atas usulan para pimpinan komunitas Katolik Indonesia, dan kami lantas setuju saja dengan usulan tersebut. Ditura pun tidak bertanya lebih lanjut. Akhirnya, pertemuan yang digagas Pak Siwie berakhir dengan baik. Buat kami, semua pengalaman ini adalah sebuah pecut dan ujian. Sebuah pecut yang semakin mendorong kami bahwa mahasiswa Buddhis Indonesia harus semakin terlibat secara sosial. Dan ini juga adalah sebuah ujian yang menentuakan: kalau kami mundur sebelum seminar, mahasiswa Buddhis akan terus jadi pecundang yang jago kandang; sebaliknya kalau seminar terus dilangsungkan, kami akan menorehkan bukti bahwa mahasiswa dan komunitas Buddhis Indonesia adalah juga bagian masyarakat Indonesia yang peduli bangsa, yang juga siap menanggung derita demi perjuangan kepentingan rakyat banyak, dan juga bagian dari masyarakat dunia yang peduli perdamaian, dan keadilan sosial.
Selain pengalaman di atas, reformasi yang dialami negara kita harus diakui mempercepat kebangkitan kembali HB. Pada tanggal 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti tewas tertembak. Keesokan paginya 13 Mei 1998, KMBJ yang sebelumnya mempunyai agenda berkunjung ke KOMNAS HAM (untuk mengkampanyekan tema Waisak Internasional Buddhis: Antikekerasan dan Perdamaian) secara spontan mengenakan pita hitam di lengan tangan. Pernyataan sikap yang telah disiapkan sebelumnya ditambahkan satu poin yang menentang kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa malam sebelumnya. Kebetualan pada hari yang sama, aktivis GMNI, PMII, dan GMKI juga sedang berada di sana untuk membawa seorang saksi korban penculikan aktivis. Mereka sempat melihat aksi yang dilakukan KMBJ yang pada saat itu memberanikan diri mengusung nama HIKMAHBUDHI (karena situasi yang direspon bersifat nasional, maka wadah yang berskala nasional amat diperlukan).
Sejak saat itu, nama yang kerap digunakan adalah HIKMAHBUDHI, sedangkan untuk keperluan internal komunitas dipakailah nama HB-KMBJ. Tertarik melihat seruan yang dibacakan HB, mereka pun mengajak agar HB ikut datang dalam rapat Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang diadakan malamnya di sekretariat GMKI, Salemba. Tentu ajakan itu disambut positif. Seusai dari KOMNAS HAM, di tengah terik matahari, HB pun meluncur ke TPU Tanah Kusir, tempat dimakamkannya pahlawan reformasi yang tertembak sehari sebelumnya. Usai dari Tanah Kusir, HB pun langsung menuju Salemba. Malam itu rasanya bisa menjadi salah satu babak penting sejarah pergerakan mahasiswa Buddhis Indonesia. Di dalam rapat itu, elemen-elemen yang tergabung dalam FKPI mengajak HB untuk ikut bergabung mewakili unsur mahasiswa dan pemuda Buddhis yang selama ini lowong. Untuk pertama kalinya, HB duduk sejajar berdampingan dengan organisasi kemahasiswaan tingkat nasional membahas perkembangan keadaan bangsa dalam situasi yang tidak menentu saat itu (malamnya, kerusuhan Mei 1998 mulai menjalar).
Akibatnya kami tidak bisa pulang ke rumah masing-masing dan harus menginap di rumah Daniel. Keesokan paginya, HB kembali bergabung dengan rekan-rekan FKPI di sekretariat PMII, Kramat Raya, untuk mengadakan konperensi pers FKPI yang telah disusun malam sebelumnya (situasi saat itu semakin menegangkan, kobaran api sudah membumbung di berbagai lokasi di Jakarta). Semua kejadian ini begitu spontan terjadi. Tindakan HB mengunjungi KOMNAS HAM bahkan dianggap nekad dan berani oleh Baskara, Sekjen GMNI saat itu (situasi yang tidak menentu dan begitu bergolak saat itu amat berbahaya bagi setiap elemen bangsa untuk mengeluarkan sikap apalagi untuk insiden yang baru terjadi malam sebelumnya. Mereka terkejut atas keberanian para aktivis HB bersuara kritis, apalagi HB belum pernah terdengar sebelumnya dan tidak jelas dukungan dan kekuatan apa yang ada di belakangnya). Demikian, persinggungan formal pertama kali HB dengan rekan-rekan organisasi kemahasiswaan tingkat nasional, suatu hal yang amat dinantikan dan disambut baik oleh pergerakan mahasiswa nasional ketika itu.
Sejak saat itu, HB-KMBJ terus menjalin hubungan dengan berbagai elemen pergerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia. Selain bergabung dalam FKPI, HB-KMBJ juga menempatkan kadernya, Bong Kian Fan sebagai salah satu pendiri dan pengurus Generasi Muda Antar Iman (GEMARI), sebuah organisasi pemuda lintas agama. Jaringan internasional juga terus dipelihara dan diperluas: tercatat Yennie Tandaputra berkesempatan mengikuti Asia Pacific Youth Gathering di Bangladesh; Yahung menghadiri seminar Alternatives to Consumerism di Thailand, dan Yabin ikut serta dalam Ariya Vinaya Gathering di Thailand (HB juga mulai digunakan dalam berbagai forum berskala internasional tersebut).
Mimpi mulai berwujud
Seiring dengan berbagai perkembangan jaringan eksternal, organisasi HB pun mulai kembali ditata. Agar memiliki landasan hukum dan legalitas yang lebih kuat saat berinteraksi dengan pihak eksternal, kepengurusan sementara HB dibentuk dalam Sidang Musyawarah KMBJ tahun 1998 yang diselenggarakan di kampus SSekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Senen (pada tahun 1998, KMBJ tidak lagi menempati sekretariat di Jl. Gunung Sahari yang sudah ditempati sejak tahun 1988. Gedung tersebut dinyatakan ingin digunakan untuk kepentingan usaha sang pemilik gedung: Ibu Hartati Murdaya. Diduga salah satu penyebabnya adalah sikap kritis KMBJ terhadap pendirian WALUBI baru, yang dimuat dalam majalah TEMPO oleh seorang wartawan yang mewawancarai Ketua HB-KMBJ Agus Tjandra).
Dalam simus tersebut, Agus Tjandra, yang baru saja menyelesaikan jabatannya sebagai Ketua KMBJ pada akhir 1998, didaulat untuk menjabat sebagai Pjs. Ketua Umum HB dengan tugas utama mengaktifkan kembali HB secara formal dibantu dengan Sekjen, Daniel Johan dan beberapa anggota lainnya. HB pun dapat terus terlibat, berkiprah dan bersinergi dengan organ pergerakan mahasiswa nasional dan pihak eksternal dengan lebih percaya diri dan tanpa keraguan. Setelah kepengurusan Agus Tjandra, HB terus berinteraksi dengan mereka, sambil terus berbenah di bawah gerbong kepemimpinan Lestari, Adi Jaya, dan hingga saat catatan ini dibuat, Eddy Setiawan. Yang perlu dicatat bersama, keterlibatan itu bukan hanya sekedar dalam perumusan pernyataan sikap bersama FKPI, tetapi juga dalam berbagai aksi konkrit lainnya seperti turun ke jalan berdemonstrasi menyarakan aspirasi rakyat banyak, menjadi pembicara dalam berbagai forum nasional, melakukan sosialisasi perjuangan antikekerasan, menerbitkan buku-buku bertemakan perdamaian dan perubahan sosial, dan sebagainya. Sebagian mimpi yang mengawang 12 tahun silam kini mulai berwujud.
Menyebar dan merajut jaringan
Yakin bahwa perjuangan membangkitkan kembali HB didasari atas niat yang tulus dan kebutuhan yang mendesak, dan percaya bahwa banyak pihak yang sesungguhnya merindukan keterlibatan sosial komunitas Buddhis Indonesia yang lebih mendalam, pengurus KMBJ bertekad untuk menjalankan kendaraan yang sudah terbentuk tahun 1988. (Sekali waktu pernah ketika isu Organisasi Tanpa Bentuk – OTB berhembus di negara ini, Kementerian Dalam Negeri RI menerbitkan nama-nama organisasi yang diakui secara resmi berdiri di republik ini. HIKMAHBUDHI termasuk salah satu di dalamnya. Hal ini menjadi salah satu alasan diaktifkannya kembali HB. Daripada membentuk wadah baru, lebih baik memanfaatkan wadah yang sudah tersedia). Keputusan ini semakin menguat ketika pada tahun 1998, sebuah momentum yang amat berharga menghampiri – FKPI menawarkan HB-KMBJ untuk ikut bergabung dalam forum tersebut; ajakan tersebut disambut dengan positif.
Keberadaan HB pun terus disosialisasikan, terutama kepada komunitas Buddhis Indonesia. Hal ini amat penting dilakukan demi kelangsungan perjuangan HB ke depan. Dukungan dari komunitas Buddhis Indonesia agar HB dapat terus berjuang mutlak diperlukan. Para aktivis mahasiswa Buddhis di luar Jakarta juga harus dilibatkan karena skala HB yang bersifat nasional dan agar HB dapat bergerak solid. Karena itu, upaya menebar jaringan dilakukan. Departemen Konsolidasi Daerah dibentuk untuk menjalankan tugas itu. Salah satu upaya menjalin komunikasi dengan rekan-rekan di luar Jakarta adalah dengan memanfaatkan momentum reformasi bangsa yang tengah terjadi. Sayang, tidak ada tanggapan yang datang. Namun, hal itu sama sekali tidak meruntuhkan semangat para pengurus sementara HB.
Pendekatan terus dilanjutkan dengan menggunakan berbagai kesempatan. Salah satunya ketika pengurus Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA) Jawa Timur (Alm. Guandi) mengundang Daniel untuk berbicara mengenai pentingnya keterlibatan sosial kaum muda Buddhis Indonesia di Vihara Dharma Mitra, Malang pada tahun 1999 (Daniel mengikutsertakan saya yang bertanggung jawab membidangi Departemen Konsolidasi Daerah HB ke dalam kegiatan tersebut. Keikutsertaan ini karena mengetahui bahwa rekan-rekan KMB Surabaya dan KMB Malang juga diundang dalam acara tersebut. Kami berpikir ini adalah kesempatan baik untuk menjalin komunikasi langsung. Kebetulan Alm. Guandi amat mendukung pertemuan ini. Beliau bahkan memfasilitasi pertemuam itu. Beliau mengundang Daniel karena tertarik ketika mengetahui sejumlah mahasiswa Buddhis bisa bertemu dengan Wakil Presiden RI Try Sutrisno pada tahun 1997. Ia mendapat informasi dari Bp. Herman S. Endro bahwa mereka adalah para pengurus HB-KMBJ).
Di forum tersebut, kami berdua akhirnya sempat bertemu dengan sejumlah perngurus KMB Surabaya yang saat itu dipimpin oleh Ceniawati. Sosialisasi mengenai pentingnya menghidupkan kembali HB pun dilakukan. Tanggapan yang penuh kehati-hatian diperlihatkan rekan-rekan KMBS. Hal ini wajar karena KMBS punya pengalaman yang kurang baik dengan HIKMABUDDHI pada tahun 1998. Sempat diundang ke Jakarta untuk membidani kelahiran HB, para pengurus KMBS kemudian kecewa karena kelanjutan HB tidak jelas (paparan sejarah mengenai hal ini rasanya perlu ditulis mendalam oleh rekan-rekan dari HB-KMBS). Kepercayaan mereka pun luntur kepada HB sejak saat itu. Dan pengalaman ini diwariskan ke generasi selanjutnya. Tidak heran, ketika kami kembali mengajukan wacana mengenai HB, mereka bersikap hati-hati dan cenderung enggan merespon. Jika pengurus KMBS masih mau bertemu dengan kami, tidak demikian halnya dengan pengurus KMBM, Eddy Setiawan bersikap lain. Ia sebaliknya malah tertarik dan ingin tahu lebih jauh.
Akhirnya, perbincangan di antara kita pun terjadi di malam hari (saya ingat betul bagaimana antusiasme Eddy mengenai ide keterlibatan sosial mahasiswa Buddhis Indonesia dan pembentukan kembali HB. Meski ban motornya kempes, ia tetap antusias melanjutkan pembicaraan walau hari sudah larut malam seolah tidak peduli dengan ban bocornya). Kami akhirnya sampai pada titik temu: HB harus dihidupkan kembali. Eddy dan kawan-kawan di Malang berusaha menggalang wilayah. Jalinan dengan Eddy terus berlangsung. Korespondensi diantara kami berdua berlangsung cukup intens. Hingga pada suatu hari, Eddy bercerita melalui suratnya bahwa Forum Aktivitas Mahasiswa Buddhis (FAMB) Jawa Timur telah terbentuk. Benih itu makin siap muncul ke permukaan. Selain melakukan pendekatan ke teman-teman pengurus organisasi kemahasiswaan Buddhis, komunikasi pun dilakukan kepada beberapa individu. Beberapa diantaranya adalah Isyanto (mahasiswa IPB Bogor dan aktivis KMB Bogor) dan Widodo (mahasiswa UNDIP Semarang).
Di tahun 1999, saya bertemu dengan mereka berdua karena keterlibatan saya membantu Ibu Hoey Leng yang memiliki putra dan putri yang menimba ilmu di sekolah yang sama. Dalam berbagai kesempatan berbeda saat memberikan bimbingan terhadap anak asuh Tzu Chi di beberapa desa di Pati, diskusi mengenai keterlibatan sosial mahasiswa Buddhis Indonesia kerap berlangsung. Pada awalnya tidak mudah melakukan sosialisasi mengenai hal ini kepada mereka. Kesan bahwa KMBJ berpolitik menjadi salah satu penghambat (suatu hal yang lumrah karena politik menjadi hal yang dihindari dan ditakuti komunitas Buddhis Indonesia di kala itu). Sebelumnya mereka telah mengenal HB dari Tamit dan Lestari (keduanya juga bersekolah di Tri Ratna dan sejak tahun 1998 mulai aktif di HB-KMBJ) yang kadang mengajak dan melibatkan Isyanto dan Widodo dalam beberapa kegiatan HB-KMBJ. Dari sanalah perkenalan mereka dengan HB-KMBJ terus berkembang.
Pada tahun 1999, Isyanto selaku Wakil Ketua KMBB bersama beberapa aktivis KMBB (Sujanto, Elvin) yang melihat perlu adanya alternatif kegiatan pergerakan sempat mengundang HB-KMBJ ke sekretariat KMBB untuk berbagi pandangan. Dalam perjalanan pulang seusai diskusi itu, Isyanto mendapat pencerahan mengenai perlunya mahasiswa Buddhis terlibat secara sosial dalam persoalan kebangsaan. Sejak saat itu, Isyanto mulai ikut terlibat dalam membangun HB. Ia mulai ikut mengembangkan jaringan secara individu di Bogor dan akhirnya ikut bergabung dalam Rembuk Mahasiswa Buddhis Indonesi (RMBI) di Jakarta.
Hal yang agak berbeda dialami Widodo. Ketertarikannya terhadap apa yang diperjuangkan HB-KMBJ bisa dikatakan amat kurang, bahkan cenderung menjauhi tidak lain itu semua karena nuansa politis HB-KMBJ dan tiadanya kebaktian di HB (kegiatan rohani dan jumlah massa: ukuran yang lazim untuk mengukur kinerja sebuah organisasi Buddhis di Indonesia). Namun, seperti pepatah jodoh tak kan lari dikejar, Widodo tetap hadir saat beberapa aktivis HB-KMBJ memprakarsai diadakannya kegiatan Rembug Mahasiswa Buddhis Indonesia pada bulan Agustus 2000. Hanya bermodalkan keingitahuan dalam forum itu Widodo akhirnya juga ikut merintis pembentukan kembali HB. Bahkan, ia dan rekan-rekannya (Ivana, Erwin, Ninik, Eko, dan lain-lainnya) di Semarang menjadi tuan rumah penyelenggara Kongres ke-2. Kebangkitan Kembali HIKMAHBUDHI.
Selain menebar jaring ke luar Jakarta, konsolidasi di dalam Jakarta terus terjadi. Di tengah perjuangan yang melelahkan dan waktu yang terus berjalan, beberapa aktivis muda lahir dengan tekad yang kuat. Adi Jaya, Lestari, Ifan Julius, Tamit, Heriandi, Himawan, dan Kartika adalah beberapa di antaranya. Salah satu hasil kolaborasi mereka yang kemudian menjadi sarana menjaring kader-kader HB-KMBJ adalah Jambore Tunas Mahasiswa. Melalui kegiatan ini, mereka melakukan sosialisasi pentingnya mahasiswa Buddhis bersikap inklusif dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga harus keras memperbaiki dan memperkuat infrastruktur organisasi KMBJ yang sempat ‘goyah’ karena masalah kepemimpinan. Menggunakan sebuah rumah yang dipinjamkan oleh Ibu Oey Hoey Leng dibilangan Jelambar sebagai sekretariat, mereka dengan rekan-rekan lainnya bahu membahu dengan generasi sebelumnya untuk memuluskan jalan membangkitkan kembali wadah perjuangan mahasiswa Buddhis nasional.
Babak akhir menjadi babak awal
Semua jaringan itu akhirnya bersatu pada penyelenggaraan Rembug Mahasiswa Buddhis Indonesia (RMBI) pada Agustus 2000. Perjalanan menggalang mahasiswa Buddhis Indonesia yang ingin terlibat secara sosial lebih jauh dengan masyarakat Indonesia akhirnya bermuara pada RMBI. Upaya yang mulai dirintis kembali sejak tahun 1995 ini memasuki babak akhir dengan diselenggarakan ajang rembuk bersejarah ini. Puluhan Mahasiswa Buddhis dari Jakarta, Tangerang, Bogor, Semarang, Surabaya dan Malang hadir dalam kegiatan yang diadakan di Vihara Mahavira Graha, Jakarta pada saat itu.
Kegiatan RMBI bisa terselenggara juga karena perkembangan situasi kondusif yang mendukung di Jakarta dan Jawa Timur. Di Jakarta, kebersamaan Lestari, Adi, Tamit dan rekan-rekannya terus menguat hingga menjadi salah satu pendukung utama pelaksanaan RMBI. Sementara itu, di Jawa Timur, Eddy berhasil menggalang jaringan yang lebih luas. Di Malang ia berhasil menemukan rekan-rekan perjuangannya seperti Suwito, Saparindi, Alex dan lain-lainnya. Pada saat yang bersamaan, pengurus KMBS juga mulai tertarik untuk berwacana mengenai kebangkitan kembali HB. Interaksi Eddy dan kawan-kawan Malang dengan beberapa pengurus KMBS seperti Okta, Arlene, Cetiawati terjalin. Dalam sebuah kesempatan, Suwito harus berangkat ke Jakarta karena urusan pekerjaan, dan Arlene sedang berada di rumahnya di Jakarta. Peluang ini tidak disia-siakan. Kami yang di Jakarta memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu dan merancang sebuah forum pertemuan yang akhirnya disepakati yang berwujud RMBI. Konsolidasi wilayah Barat dan Timur pulau Jawa ini akhirnya membuahkan hasil dengan terselenggaranya RMBI (seorang rekan di Mataram yang awalnya dihubungi berhalangan hadir).
RMBI menjadi sebuah sejarah karena dari sana upaya pendirian cabang-cabang HB mulai bergulir. KMBJ segera menyatakan peleburan dirinya menjadi HB Jakarta, dan kemudian diikuti berturut-turut pembentukan HB Semarang, HB Malang, peleburan KMBS menjadi HB-KMB Surabaya, HB Mataram dan HB Lampung. RMBI tercatat menjadi sebuah perjalanan panjang rentetan mimipi, dimulai sejak tahun 1971 hingga mimpi itu kembali dikembangkan pada tahun 1995. RMBI juga menjadi babak awal perjalanan organisasi HIKMAHBUDDHI yang konsisten. (Catatan mengenai RMBI lebih lenkap dapat dibaca dalam majalah HIKMAHBUDDHI edisi… tahun 2000). Satu tahun RMBI berlalu, Kongres ke-2 HB kemudian berhasil diadakan di Semarang. Lestari terpilih menjadi Ketua Umum HB definitif dan menjalankan tongkat estafet dari kepemimpinan transisi Agus Tjandra. Sebuah rangkaian mimipi berakhir, uraian mimpi-mimpi baru kemanusiaan menunggu untuk segera dirangkai.
Sebuah perjalalan panjang
Dua belas tahun berlalu sudah sejak perbincangan mimpi itu terjadi HIKMAHBUDHI telah bangkit kembali. Kerinduan akan keterlibatan sosial Buddhis yang mendalam, persahabatan dan persaudaraan menjadi urat nadi kebangkitan. Saat ini, HIKMAHBUDHI menjadi salah satu elemen dan turut terlibat dalam berbagai jaringan kepemudaan dan kemahasiswaan nasional. Hingga detik ini, HIKMAHBUDHI telah telah terlibat secara langsung menyuarakan aspirasi rakyat. Berdemonstrasi turun kejalan, bersikap mengenai hal-hal kepentingan rakyat banyak di berbagai media masa, berdialog dengan pejabat negara dan para wakil rakyat, dengan menjadi narasumber duduk sejajar dengan aktivis pergerakan mahasiswa nasional dalam berbagai seminar nasional – sesuatu yang menjadi barang mewah pada awal tahun-90an kini bukan lagi hal asing bagi mahasiswa Buddhis Indonesia.
Bukan hanya skala nasional, interaksi dengan berbagai jaringan Internasional juga terjalin. Sejak tahun 1995, HIKMAHBUDHI telah secara rutin mengikuti konferensi internasional INEB setiap dua tahun. Sejumlah pelantikan dan simposium internasional juga menjadi konsumsi para pengurus HB dalam kurun waktu 12 tahun ini. Semua itu tentu bukan kegiatan plesiran, namun sebagai ajang menimba ilmu, memperdalam pengalaman dan pemahaman nilai agar dapat terus konsisten melibatkan diri secara konkret dalam berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan.
Yang lebih menggembirakan, dan tidak kalah penting untuk dicatat adalah perilaku komunitas Buddhis Indonesia yang semakin membuka diri dan bersifat inklusif. Mereka yang dahulu bersikap apatis, curiga, dan sinis terhadap berbagai gerakan keterlibatan sosial Budhis mulai berubah. Dalam kurun waktu 12 tahun ini, beberapa elemen komunitas Buddhis Indonesia juga sudah mulai terlibat secara aktif maupun pasif. Ketakutan politik terlihat mulai luntur, keberanian untuk tampil bersama berbagai elemen masyarakat beragama lain dalam menanggapi berbagai permasalahan bangsa mulai kerap terlihat, keinginan untuk melebur menjadi masyarakat yang inklusif terus tumbuh. Tentu saja, perjalanan masih panjang. Masih butuh waktu untuk melihat konsistensi dan ketulusan sikap ini. Sikap ini amat penting untuk mewujudkan nilai sejati Buddha Dharma yang pada hakekatnya membebaskan masyarakat dari penderitaan.
Perjalanan panjang masih menanti. Ketulusan, kesabaran, keuletan, dan kerja sama amat krusial dan diperlukan dalam perjuangan mahasiswa Buddhis Indonesia. Dibutuhkan mimpi-mimpi baru dan kerja keras dari generasi terkini untuk membangun masa depan. Para mahasiswa pada tahun 1970-an merintis pergerakan mahasiswa Buddhis kini telah duduk menjadi pimpinan berbagai organisasi Buddhis tingkat nasional. Generasi tahun 1980-an mulai menduduki pucuk pimpinan organisasi pemuda Buddhis nasional. Hampir semuanya masih di ranah keagamaan. Masih minim yang bisa menembus ranah sosial kemasyarakatan. Generasi tahun 1990-an telah memberanikan diri menembus ranah tersebut. Hasilnya sedang berproses, dan amat diharapkan kolaborasi dan sinergi dangan para aktivis tahun 2000-an ini bisa mewujudkan hasil nyata yang lebih banyak dan sekaligus menciptakan keterlibatan landasan sosial yang lebih kokoh bagi mahasiswa Buddhis di masa depan.
Untuk menanggapi mimpi-mimpi yang baru, dukungan dari komunitas Buddhis Indonesa tidak kalah pentingnya. Tanpa dukungan itu, perjalanan ini tidak akan bertahan lama. Untuk itu dalam kesempatan ini tidaklah berlebihan jika keluarga besar HIKMAHBUDHI menyampaikan ucapan terima kasih sedalam–dalamnya kepada berbagai pihak yang telah membantu HB hingga mampu berjalan sampai titik ini. Secara khusus tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pendukung lainnya, kita harus mengangkat topi bagi para sesepuh perintis ide ‘keterlibatan sosial’ HIKMAHBUDHI: Bp. Krishnanda, Eresen, Jo Priastana, dan Firman Lie yang telah membuka jalan dan secara konsisten mendukung dan mendampingi anak-anak dan adik-adiknya di HB.
Akhirnya, di balik semua pencapaian ini jelas masih terkandung banyak kekurangan. Hal ini menjadi tantangan kita semua, terutama keluarga besar mahasiswa dan pemuda Buddhis Indonesia, keluarga besar HB. Pembangunan karakter para pengurus dan anggotanya menjadi tantangan yang amat krusial di masa mendatang. Jangan sampai suatu saat kelak, ketika HB beranjak semakin besar ban tinggi, para alumni maupun aktivisnya melukai hakekat perjuangan. Jangan sampai HB dijadikan alat pencapaian kekuasaaan dan keuntungan pribadi. Kita dapat belajar dari contoh-contoh yang sudah ada. Kritis, cerdas dan membela kepentingan rakyat saat masih menjadi aktivis, namun ketika terjun di masyarakat berubah menjadi manusia penghisap darah masyarakat, dan celakanya terus berlindung di balik nama kepentingan rakyat. Semoga HIKMAHBUDHI tidak menjadi sarana yang melahirkan para sosok manusia semacam itu. Oleh karenanya, pendidikan kader yang utuh perlu segera dilaksanakan. Jangan hanyut dalam proyek-proyek mercusuar. Perhatikan pula hal-hal kecil tetapi mendasar. Kembangkan terus persahabatan yang tulus, dan sikap saling menghormati.
Yang terakhir, kita hendaknya selalu menjaga bahwa perjuangan ini harus terus berada dalam koridor visi dan misi HB yang diilhami visi Buddha, yakni terbebasnya penderitaan. Kita tunggu mimpi-mimpi kemanuasiaan lainnya dari para kaum muda HIKMAHBUDHI dan generasi mahasiswa terkini. Butuh kebersamaan dan kerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang mencerahkan dan membebaskan masyarakat dari penderitaan tersebut. Ayo berjuang dengan sungguh-sungguh…! Selamat ber-PO.
STOP PRESS! Saat catatan ini dibuat (15.8.2006. pk 19.00 WIB), Eddy, Winto dan teman-teman panitia PO kita di Malang dan Surabaya dalam berada dalam sebuah ‘tekanan’ dari sebuah pihak yang dapat mengganggu kelancaran acara PO. Hingga catatan ini dicetak, keputusan mereka adala: TIDAK TUNDUK TERHADAP TEKANAN ITU! Seperti biasa, tekanan terhadap HB ini justru bukan melumpuhkan, tapi malah lebih membangkitkan. Terima kasih kepada semua teman-teman panitia PO. Kami bangga terhadap pengorbanan dan sikap memegang teguh kebenaran rekan-rekan semua!
Saya menyadari penggalan catatan ini jauh dari sempurna. Bak sebuah mozaik, catatan ini hanya sekeping ‘puzzle’ dari sebuah gambar. Gambar sebuah babak perjalanan pergerakan mahasiswa Buddhis Indonesia dalam upaya membumikan Dharma. Butuh rekan-rekan lain untuk menjadi keping-keping lainnya agar gambar satu babak dan babak-babak lainnya menjadi lengkap. Mudah mudahan sedikit penggal catatan ini dapat melengkapi keping-keping sejarah terdahulu yang telah terpasang. Semoga rekaman sejarah ini bisa menjadi sedikit pelita yang mencerahkan bagi rekan-rekan muda pejuang pembebas penderitaan di HIKMAHBUDHI dan berbagai organisasi kemahasisiwaan Buddhis lainnya. Akhirnya, catatan ini terbuka untuk diperbaharui, disanggah dan diperbaiki demi kemajuan perkembangan pergerakan mahasiswa Buddhis Indonesia, khususnya HIKMAHBUDHI. Terima kasih.