Sebagai jurnalis setelah Perang Dunia II, Siauw antara lain berkarir di majalah Liberty, Malang (1946), dan Pemuda. Antara Juli 1951 dan Oktober 1953 ia menjadi DirekturHarian Rakyat, suara resmi PKI. Dia juga memimpin harian Republik, terompet Baperki pada 1950-an. Pada 1954 ia ikut mendirikan Baperki, organisasi massa keturunan Tionghoa dan menjadi ketua umum sampai organisasi itu dilarang tahun 1965.
Siauw ditahan selama 13 tahun menyusul Peristiwa G-30-S 1965. Setelah bebas ia hijrah ke Negeri Belanda. Memoarnya, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar diterbitkan Mei 1981 di Negeri Belanda. Siau meninggal dunia 20 Nopember 1981 di Amsterdam. Lulusan Hogere Burger School (HBS) kelahiran Surabaya 23 Maret 1914 ini sempat menjadi Menteri Negara Urusan Peranakan pada masanya.
Siauw Giok Tjhan, lahir 23 Maret 1914 di Surabaya, adalah lulusan Hogere Burger School (HBS), SMA Belanda. Pada 1930-an ia berkenalan dengan Liem Koen Hian dan bergabung dalam PTI. Pada 1934-1942 ia bekerja di harian Mata Hari. Di zaman Jepang ia memihak Republik sehingga diangkat menjadi anggota KNIP dan kemudian menjabat Menteri Negara Urusan Peranakan.
Siauw tampaknya menjadi anggota PKI-ilegal sebelum Perang Dunia II. Ia diduga terlibat dalam Peritiwa Madiun 1948 sehingga ditahan, tapi segera dibebaskan dan aktif lagi dalam politik. Siauw pada 1950-1966 menjadi anggota Parlemen mewakili keturunan Tionghoa. Ia diberhentikan secara resmi karena diduga terlibat dalam G-30S. Sebagai jurnalis setelah Perang Dunia II, Siauw antara lain berkarir di majalah Liberty, Malang (1946), dan Pemuda. Antara Juli 1951 dan Oktober 1953 ia menjadi Direktur Harian Rakyat, suara resmi PKI. Dia juga memimpin harian Republik, terompet Baperki pada 1950-an.
Pada 1954 ia ikut mendirikan Baperki, organisasi massa keturunan Tionghoa dan menjadi ketua umum sampai organisasi itu dilarang tahun 1965. Siauw ditahan selama 13 tahun menyusul Peristiwa G-30-S 1965. Setelah bebas ia hijrah ke Negeri Belanda. Memoarnya, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar diterbitkan Mei 1981 di Negeri Belanda. Siau meninggal dunia 20 Nopember 1981 di Amsterdam.
Pada 1960-an, dikalangan peranakan Tionghoa di Indonesia terdapat tiga terapi pemecahan masalah Tionghoa di Tanahair:
1. Statement “menuju asimilasi yang wajar” yang ditandatangani oleh 10 tokoh Peranakan Tionghoa pada 24 Maret 1960. kesepuluh tokoh ini menyatakan:
a. Masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi sukarela di segala lapangansecara aktif dan bebas.
b. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang menghambat proses asmilasi secara kunstmatig tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, tindakan-tindakan yang memaksakan asimilasi juga tidak dapat di setujui. Para penggagas terapi ini menyambut baik anjuran Menteri Achmadi dalam seminar koperasi 11 Maret 1960 “agar warga keturunan asing sedikit demi sedikit meninggalkan usaha-usaha yang bersifat eksklusif supaya dapat memudahkan asimilasi kulturil, ekonomis dan bahkan biologis.” Anjuran ini ditentang mati-matian oleh Baperki yang bekerja sama dengan PKI.
2. Pendapat siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki, yang ditegaskan lagi dalam peringatan HUT ke-6 Baperki pada 13 Maret 1960: “bahwa cara menyelesaikan golongan kecil (minoritet) dengan ganti nama dan asimilasi secara biologis adalah tidak bijaksana, tidak demokratis dan melanggar hak-hak azasi manusia serta pula tidak dapat dilaksanakan.”
3. Pemikiran Mr Yap Thiam Hien yang lebih condong pada rule Of Law, heart-cleansing, perubahan mensbeschouwing (pertimbangan kemanusiaan, Ed.) dari materialistis menjadi christo-centris, rebirth in Jesus Christ, dan sebagainya.
Ketiga terapi tersebut kemudian terkena sebagai:
a. Terapi asimilasi sukarela (10 tokoh).
b. Terapi integrasi komunis (Siauw Giok Tjhan).
c. Terapi nonkomunis (Yap Thiam Hien). Polemik ketiga terapi itu muncul di majalah Star Weekly antara 13 Februari dan 25 Juni 1960. Dapat dicatat bahwa gerakan/ide asimilasi didukung oleh, antara lain, golongan agama dan ABRI, sementara Baperki/Siauw bergandengan tangan dengan golongan kiri, khususnya PKI.
Mengenai kerjasama ini, dalam buku Dr Siauw Tiong Djin, putra Siauw Giok Tjhan: Perjuangan seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika (Jakarta: Hasta Mitra, 1999), halaman 383-4 terdapat ungkapan menarik sebagai berikut: Namun dekat dengan PKI tidak berarti Siauw selalu menyetujui tindak-tanduk PKI. Di dalam saat-saat terakhir zaman Orde Lama, telah terjadi beberapa konfilk antara Siauw dan pemimpin PKI, terutama dengan Aidit sendiri.
Pada 1965, PKI aktif dalam memobilisasi massa untuk menunjukkan kekuatannya di jalan-jalan. Demonstrasi di jalan-jalan ini memerlukan massa, transportasi dan dana. Massa yang diandalkan biasanya pemuda-pemudi terutama pelajar-pelajar. Untuk inilah PKI berpaling ke Baperki untuk bantuan, terutama untuk berbagai kegiatan di Jakarta. Baperki memiliki banyak sekolah dan jumlah pelajar yang ditampung di sekolah-sekolah Baperki, berjumlah puluhan ribu. Tentu massa itulah yang oleh PKI diandalkan turun ke jalan-jalan.
Di samping itu, banyak anggota dan pendukung Baperki merupakan para pedagang yang siap memberikan sumbangan yang dianggap berguna untuk kepentingan mereka sendiri. Di antara pendukung Baperki ada pula yang memiliki perusahaan bis yang cukup besar di Jakarta. Datanglah PKI kepada mereka untuk meminta bantuan yang dilakukannya melalui tokoh-tokoh Baperki. Kalaulah jumlah demonstran dibutuhkan dari luar kota untuk memeriahkan acara-acara PKI, lagi-lagi orang-orang Baperki yang dimintai bantuan untuk menyediakan tempat dan biaya penampungan.
Ketika PKI dan berbagai organisasi yang berafiliasi dengannya mengadakan latihan milter, banyak pemuda-pelajar Baperki turut berpartisipasi. Di antara para ratusan pemuda yang dilatih di Lubang Buaya di mana 6 Jendral Angkatan Darat dibunuh dan ditanam pada waktu peristiwa G30S terjadi, terdapat juga beberapa pelajar dan mahasiswa Baperki.
Banyak pengaturan yang digambarkan di atas dibuat oleh pimpinan Baperki yang rupanya sekaligus juga menjadi anggota PKI atau ormas-ormasnya, seperti LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat, Ed.), dan CGMI (Cosentrasi gerakan Mahasiswa Indonesia, Ed.). Dalam hal ini Siauw tidak selalu mengetahuinya. Ia sering kecewa dengan macam-macam pernyataan PKI yang mengklaim massa Baperki seakan sebagai massanya sendiri.
Siauw Giok Tjhan selalu menyatakan bahwa Baperki bukan organisasi yang berafiliasi dengan PKI, massa Bperki bukanlah massa PKI. Oleh karenanya ia sering menegur para kader Baperki yang bertindak dan menggunakan massa Baperki untuk acara-acara PKI seakan-akan semua perbuatan itu sesuatu yang lumrah harus dijalankan.
Siauw Giok Tjhan sering juga kecewa karena dorongan untuk lebih mendekatkan Baperki dengan PKI sering timbul dari dalam Baperki sendiri. Demikian kisah seorang Patriot yang sejak usia muda secara ikhlas mempertaruhkan nyawanya bagi Indonesia Merdeka. Seorang idealis yang tak pernah mengejar kekayaan materi. Sumber: Jahja, Junus. Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya.
Jakarta: KPG, 2003. Hal. 123-132
